Senin, 14 Desember 2009

My Sunday 13th


    Final exam is over, and here i am staying at home although it's not holiday yet. Betapa sedikit muntahan pagi memaksa papa nulis surat sakit. Gimana ngga muntah, hari minggu-nya brunch jam tiga. Brunch, bukan lunch. it was even too late for a lunch, wasn't it? Maklumlah, sindrom anak-sekolah-kesenengan-lepas-ujian. Mental anak sekolah emang udah ngatur mata untuk otomatis melek pagi-pagi, tapi ngga bisa bikin badan bangkit dari kasur, mengingat itu hari Minggu di sebuah minggu dimana hari Minggu sangat dinanti-nati. Melek yang ngga berarti. Melek hanya untuk bersiap-siap tidur lagi. Tidur panjang.
    Mungkin di hari-hari Minggu sebelumnya, wangi sarapan bisa ngasih cukup tenaga, untuk sekedar sarapan, dan sarapan-lah yang ngejepret mata biar ngga merem lagi. But not that sunday. Mama lagi di luar kota, dan nyium wangi sarapan ala papa yang bersikeras masak sarapan sendiri malah bikin bantal menebar aroma surga untuk tidur lagi. Lelah dipekerjarodikan selama seminggu, benda 900gr yang terjepit diantara tulang-tulang kranium merasa cukup rasional memilih aroma mimpi daripada aroma roti yang samar-samar tercium dari wangi arang yang menyengat - tanpa menyadari bahwa itu ngga lebih bego daripada beruang yang hibernasi tanpa persiapan.
    Pelan tapi pasti, kenyataan memburam. 
    Semakin memburam.
    Buram yang menghanyutkan.
    Lalu cahaya itu datang. Putih dan terang.
       Bukan, itu bukan gerbang ke alam baka. Itu serangan ganas matahari sore, karena papa baru bukain gorden kamar.
    Samar-samar, jam dinding menyeringai. Jarum-jarumnya membentuk sudut 90 derajat ke arah kanan. Angka dua belas ketutup ujung jarum, ujung jarum yang lain tepat nunjuk ke titik pertemuan dua setengah lingkaran yang tersusun menurun: angka tiga. Perut keroncongan. Dari celah pintu keliatan meja makan bersih, ngga ada apa-apa kecuali tempat sendok dan isinya. Momen kesengsaraan yang sempurna. Kalo misalnya ada speaker nyala, mungkin dibunyiin "jeng-jeng jeeeeng" sekalian biar makin dramatis. Trus kameranya di zoom-in, si pemeran utamanya teriak "TIDAAAK"-full ekspresi. Tiba-tiba scenenya ganti jadi wanita ngacungin dua jari tapi nunjuk kartu bertulisan tiga. Penontonnya gerem, tapi nungguin juga sampe iklannya kelar.
    Wait, this is a life, not a drama series. Yang kejadian adalah si tokoh cerita terhuyung-huyung berjalan ke kulkas, dan semakin diiris-iris dengan kenyataan bahwa isi kulkas cuma bahan-bahan mentah. Si tokoh menarik nafas, ngambil pisau tajam mengkilat *kalo ini beneran drama series, bakal bunyi 'sriiing', dan pisaunya berkilat-kilat. Ngga, ngga bunuh diri kok. Tapi masak. Usaha yang kurang lebih sama kaya percobaan bunuh diri. Dan bunuh orang lain juga. Si tokoh berdoa untuk pencipta kecap asin, berterimakasih karena beliau telah menciptakan bahan yang bisa menggantikan garam disaat lupa dimana naro garam. Lalu pasrah memakan hasil olahannya dengan nasi. Ok, sebuah episode bunuh diri yang gagal. Selesai sudah. Si tokoh kenyang. Happily ever after. The end.


    Nope, the day didn't have a happy ending. Si tokoh lupa makan malem. She was struggling with her own fools. Her childish manner drive some people mad. She got slapped on her bold face. Now she understand how nauseating is it being people around her.